Gelak Tawa, Doa, dan Harmoni: Potret Merdeka dari Kampung Halaman


Dalam suasana libur semester, saya seorang mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, memutuskan pulang ke kampung halaman di Desa Puhjajar, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri. Tahun ini terasa begitu spesial, sebab kepulangan saya bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80. Tidak seperti biasanya, desa kecil kami mendadak berubah menjadi ruang kebersamaan yang penuh warna dan keceriaan. Selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 15 hingga 17 Agustus, warga menggelar beragam kegiatan yang memadukan ekonomi, budaya, olahraga, hingga hiburan.

15 Agustus: UMKM dan Harmoni Budaya


Perayaan dimulai dengan bazar UMKM di tiap RT. Jalan-jalan desa dipenuhi stan-stan sederhana yang menjajakan aneka produk warga. Ada jajanan tradisional, hasil pertanian, makanan olahan, hingga produk edukatif seperti buku edukasi untuk anak-anak. Saya sendiri ikut serta dengan membuka lapak jamur crispy buatan keluarga. Rasanya menyenangkan melihat para tetangga saling mendukung usaha kecil ini, sebuah bukti bahwa kemerdekaan juga berarti kemandirian ekonomi.

Malam harinya, suasana berubah menjadi lebih syahdu dengan pagelaran campursari. Irama khas Jawa mengalun lembut, disertai harmoni gamelan yang membuat siapa pun hanyut dalam nostalgia. Campursari bukan sekadar hiburan, tetapi juga wujud kecintaan pada budaya yang diwariskan. Malam itu, Desa Puhjajar terasa begitu hidup dengan perpaduan antara geliat ekonomi dan kehangatan budaya.

16 Agustus: Gelak Tawa dan Doa Bersama


Hari kedua, kemeriahan semakin terasa. Bazar UMKM tetap digelar, namun kali ini ditemani berbagai lomba anak-anak. Dari memasukkan pensil ke dalam botol hingga makan kerupuk, suara tawa dan sorak-sorai memenuhi udara desa. Lomba ini bukan sekadar permainan, melainkan cara sederhana menanamkan sportivitas dan keceriaan pada generasi penerus bangsa.

Sore harinya, giliran ibu-ibu yang memeriahkan suasana. Saya ikut serta dalam beberapa lomba, seperti memasukkan bola ke dalam bakul, pensil ke dalam botol, hingga estafet tepung antar-RT. Gelak tawa tak henti-hentinya pecah, membuat suasana penuh canda sekaligus mempererat persaudaraan antarwarga.

Malam menjelang, warga berkumpul dalam doa bersama. Di bawah langit desa yang hening, doa-doa dipanjatkan sebagai bentuk syukur atas kemerdekaan dan harapan untuk masa depan bangsa. Momen ini begitu berkesan, mengajarkan bahwa merayakan kemerdekaan tidak hanya dengan riang gembira, tetapi juga dengan doa yang tulus.

17 Agustus: Merah Putih dan Pentas Seni

Hari ketiga menjadi puncak perayaan. Pagi-pagi sekali, warga berkumpul untuk senam bersama dengan dresscode merah putih. Sebelum senam dimulai, lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan khidmat. Di tengah gerakan senam yang energik, saya merasakan semangat kemerdekaan yang sederhana, namun begitu nyata.

Sore harinya, anak-anak kembali memenuhi lapangan untuk lomba yang lebih seru. Namun, malam hari adalah yang paling ditunggu-tunggu yakni pentas seni antar-RT. Setiap RT menampilkan kebolehannya, mulai dari tari daerah, gerak lagu, hingga menyanyi. Penampilan yang beragam itu mencerminkan kekayaan budaya yang hidup di tengah masyarakat.

Puncak acara ditutup dengan menyanyi bersama seluruh warga. Suara yang berpadu, meski tak semuanya merdu, justru menghadirkan rasa persatuan yang hangat. Malam itu, desa kami bukan hanya dipenuhi cahaya lampu, tetapi juga cahaya semangat kebersamaan dan cinta tanah air.

Tiga hari perayaan di Desa Puhjajar meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Dari bazar UMKM hingga pentas seni, semuanya mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga mengisi hari ini dengan kebersamaan, inovasi, dan karya nyata.

Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa generasi muda harus hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin: menebar manfaat, menjaga harmoni, dan memberi dampak positif. Semangat kemerdekaan di desa saya adalah pengingat bahwa perjuangan tidak pernah berhenti. Kini, perjuangan itu diwujudkan melalui ekonomi kreatif, pelestarian budaya, persatuan warga, dan doa yang tulus bagi bangsa.

Desa kecil kami mungkin sederhana, tetapi dari sanalah saya belajar bahwa kemerdekaan adalah tentang menyalakan semangat, dari hal-hal kecil yang akhirnya berdampak besar.


Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Komentar

Postingan Populer